:: see more gadget at the bottom of the page ::

Tuesday, November 25, 2008

Is it a big deal?

A friend of mine once told me how lucky my husband was to has a wife like me...:))

Kenapa? Karena:
* Pertama, ga protes suami pulang malam mulu > jam 10 pm (suami dia sebelum matahari terbenam udah pulang)
* Kedua, menerima berapa aja uang yang dikasih suami tanpa pernah tau berapa tepatnya penghasilan dia.

Hahaha, jadi pengen ketawa. Apa bener, begitu?

Soal yang pertama, eitss siapa bilang aku ga protes?! Protes sih pernah, tapi, cape kali yaa karena ga ada perubahan juga. Udah gitu kita malah dibilang engga pengertian dengan keribetan dan pressure kerjaannya di kantor. Waah, ogah donk dicap istri ga pengertian (walopun iya), hehehe.

Pernah ada tante yang curhat masalah rumah tangganya. Katanya, suami dia suka sekali pergi sama temen-temennya dan pulang larut malam. Sampe lebih dari 20 th pernikahan mereka, mereka ga pernah punya quality time sama-sama. Tapi dia bilang, "gpp dia (suaminya) suka pergi2 sendiri, yang penting dia masih ingat pulang dan tidur di rumah." Wow! Sampe speechless. Salut buat tante yang sabar dan rela ngorbanin perasaan. Aku ga tau sikap tante ini bijak apa engga, karena buatku ini kedengarannya ga adil. Tapi, aku bisa simpulkan bahwa rasa sayang tante pada suaminyalah yang memampukan dia untuk bisa mengerti suaminya. "Kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, menanggung segala sesuatu."

Bukan soal gampang memang bisa sampai pada tahap pengertian seperti itu. Pastinya butuh proses yang panjang dan (mungkin) melelahkan. *Senyum2 kecut ^^*

Jujur sih, kadang2 kalo aku lagi bete, jenuh dengan rutinitas yang itu-itu aja ato ada temen yang iseng kasih komentar ga jelas seperti diatas, aku suka kepancing juga sih (ikan kali..:)). Suka jadi kepikiran juga, gimana, kalo suamiku punya 'seseorang' diluar sana? Cemburu? Pastilah. Tapi, pikir2...dan pikir2 lagi...emang beneran ada? Apa itu bukan cuman pikiran aku aja? Kadang-kadang aku suka kelepasan juga jadi marah-marah sama suami, sampe dia bingung "salah apa?". Wajar dia bingung, karena aku marah-marah bukan berdasarkan kenyataan, tapi hasil kreativitas pikiranku, whahahaha!

Cemburu tanda cinta? Mmm....apa bener tanda cinta? "Kasih tidak cemburu..."

Apa bukan tanda ego kita? Ego, ingin memiliki suami, mengatur dan mendikte dia seperti mau kita?

Aku sih pengen banget kalo bisa seperti itu, tapi suamiku kan manusia juga, yang sama seperti aku butuh bersosialisasi, pengen punya 'me time', punya pendapat sendiri juga dan hak untuk menyuarakannya. Wajarlah. Kita menikah kan bukan untuk membuat pasangan kita menjadi robot ato pembantu kita. Status menikah memang membuat batasan2 buat diri kita, tapi bukan untuk membuat kita jadi BUKAN DIRI KITA lagi sendiri.

Kalo soal temen beda gender, aku juga punya banyak temen cowo. Yang salah satunya kalo sms ga pernah lupa nyelipin kata cantik. Misalnya, "sabar ya cantik" atau "aduh, ibu yang cantik ini lucu sekali". Harus ge-er? Engga juga kali, karena aku tau dia mengatakan aku cantik bukan untuk merayu. Kog, tau? Ya, tau karena dia melakukannya dengan sopan dan tidak berlebihan. Walopun mungkin sebaiknya dia ga memuji wanita lain selain istrinya sendiri, supaya ga timbul salah persepsi. *In case sang istri ngintip baca sent item di hp-nya :p*

Bagaimana kalo suami menyalahgunakan kepercayaan kita? Well, aku cuman bisa percayakan semua pada Tuhan. Aku ga mau fokus pada hal-hal yang TIDAK bisa aku kontrol, mis: perasaan dia (marah, sedih. Sama seperti kita ga bisa mengontrol terbitnya matahari atau turunnya hujan); tapi, pada hal2 yang BISA aku kontrol, mis: ngurus anak-anak dengan kesabaran dan kasih sayang, berusaha menjadi teman curhat dan pendengar setia buat suami. Kalo suami sampe makin cintaaa...that's my reward ^^.

Soal yang kedua, (hehe, hampir lupa kepanjangan sih ngebahas soal pertama), ini juga salah. Nanya2 suami sampe 'maksa' udah pernah, tapi emang dasar laki-laki, susah kayaknya yaa mempertahankan perubahan dalam jangka panjang. Kalo abis di'ceramahin', iya nurut, berubah, sekali...dua kali..., setelah itu....mmm, lupa lagi deh alias balik lagi ke seperti apa adanya dia dulu. Akhirnya curhat sana, curhat sini, banyak baca majalah dan ternyata....wow! Ini bukan masalah aku aja. Rata-rata dari yang aku baca dan teman2 yang aku tanya punya pengalaman serupa. Kata mereka biasanya suami berubah juga, mau lebih terbuka soal penghasilan setelah beberapa tahun pernikahan (well, it depends on the person juga kali ya. Kecuali type SSTI alias Suami-Suami Takut Istri, whahahaha.....:p Tp, who knows juga kan).

----------

One thing that i thank God, beberapa hari lalu suamiku pulang kerja dengan wajah berseri2 (ciee..., ada apa nih? Dug...dug...dug, jd berdebar2 ^-^). Kita ngobrol2. Dia share soal pekerjaannya, and....??? Guess what? Dia ngasih tau berapa penghasilan yang akan dia dapat per Desember besok. Yiipeee...!! Setelah lewat 6th pernikahan *OMG! 6th booo...* akhirnya dia mau juga deh terbuka soal penghasilannya. Hehehe....

*Tp, psst...musti maksa liat slip gajinya juga ga? Hahaha.*

Wednesday, November 19, 2008

Sedihkah saya?

Suatu hari ibu mertua -yang saya panggil mami juga- telpon. Dan, kami ngobrol macam-macam hal mulai dari nanya'in kabar, kegiatan yang dia atau saya lakukan, ngomentarin issue-issue yang sedang menjadi topik hangat, dan banyak lagi deh. Nyambung aja terus, dari satu topik ke topik yang lain. Kami memang biasa ngobrol seperti itu.

"Kemaren Eby ditanya'in orang-orang di gereja," tutur mami mengawali obrolan kami. "Mereka pada nanya, gimana kabar Eby? Kuat 'ga dia setelah ditinggal mami papinya? Mami bilang, iya, Eby kuat, tabah. Trus, temen Eby si ****** juga tanya'in Eby. Dia bilang, Eby 'ga sedih..."
Mendengar cerita mami, terutama kalimat yang terakhir tadi, mendadak saya merasa ada sesuatu yang bergeliat dari bawah perut saya dan terus merambat naik ke kepala, sampai pipi saya jadi terasa panas dan membuat saya sempat kehilangan kata-kata.

Saat itu saya ngga komentar banyak soal cerita mami tadi. Saya masih gelisah karena menahan emosi. Tubuh saya masih terasa bergetar. Saya marah. Benar. Saya marah, jengkel, kesal bukan main. "Gila kali ya?! Apa 'ga salah dia ngomong gitu?! Bisa-bisanya dia membuat asumsi sendiri, padahal nelpon aja engga! Bagaimana dia bisa tahu apa yang dirasakan hati saya?!"

Saya sedih. Perasaan marah itu kini berubah menjadi sedih. Sedih, karena seorang yang mengaku teman bisa berkata seperti itu tentang perasaan saya. Tau apa dia?!

Saya ingat, ketika pertama kali mendapat kabar mami sudah ngga bernafas dan sedang diupayakan oleh dokter untuk bisa bernafas lagi, saya menangis. 'Ga meraung2, tapi saya menangis. Walo begitu saya berusaha untuk tetap tenang, karena saya masih bingung, "ini ada apa sih? Jadinya mami bagaimana?"

Dengan perasaan bingung itu, saya membereskan pakaian untuk saya bawa ke Bandung. Sengaja, saya 'ga bawa baju warna hitam, karena saya masih berharap mami 'ga beneran 'pergi'. Tapi, sebagai gantinya saya membawa beberapa potong baju berwarna gelap: biru tua, untuk jaga-jaga juga :(.

Ketika di tol kebon jeruk saya mendapat kepastian bahwa mami sudah meninggal, saya menangis terus sampai tol cipularang. Untunglah ada anak dan suami saya yang membuat saya tabah. Saya ingat, sepanjang perjalanan mata saya selalu memandang ke awan-awan, berharap saya bisa menangkap bayangan mami disana. Berharap masih bisa ketemu walo untuk terakhir kalinya :(.

Begitu juga ketika papi 'pergi'. Saya sedih. Saya bahkan hampir 'ga bisa terima waktu kakak saya memanggil Pendeta dan meminta doa penyerahan. "Apa-apa'an ini?" pikir saya dalam hati, "kita kan masih menunggu dokter untuk mengetahui kondisi papi yang sebenarnya gimana? Kog, udah mo doa penyerahan aja?"

Tetapi, ketika sudah di rumah duka, saya sudah lebih tenang -mau 'ga mau-. Karena masih banyak hal yang harus diputuskan: baju apa yang akan dipakai untuk terakhir kali oleh mami-papi, peti jenazahnya yang bagaimana, berapa biayanya, kapan waktu pemakaman, dimana akan dimakamkan, apakah semua kenalan dan keluarga sudah diberitahu, konsumsi untuk tamu, dan banyak lagi urusan-urusan lainnya yang kelihatan sepele tapi juga (sebenarnya) penting, mis: jumlah botol minyak yang disediakan oleh rumah duka untuk digunakan pada malam penutupan peti sebagai penghormatan terakhir, cukup apa engga (biasanya sih 'ga cukup, harus tambah lagi).

Didepan anak-anak, Ryan dan Rainer, juga saya tenang. Saya 'ga mau bikin mereka bingung.

Tampaknya semua orang mengagumi saya karena saya begitu tabah. Bahkan ketika saya mewakili keluarga (bergantian dengan kakak dan adik) memberikan kesaksian dan ucapan terimakasih kepada seluruh pelayat yang hadir, saya begitu tenang. Tiga kali saya memberikan kesaksian dan ucapan terimakasih: 1) di rumah duka Bumi Baru II, Bandung, 2) di GPdI Lengkong Kecil, Bandung, dan 3) di pemakaman Kerkoff, Tegal. Hanya sesekali saya berhenti berusaha menahan tangis, tetapi semua kata-kata akhirnya mengalir keluar dari mulut saya (hampir) tanpa hambatan.

Tetapi, ketika pemakaman telah berakhir dan kami kembali ke rumah kami masing-masing, barulah saya mulai merasakan kesedihan itu. Berbagai kenangan hadir kembali berkelabatan dalam ingatan saya. Hati saya terasa hancur. Pada saat itu saya merasakan hati saya perih seperti tertusuk duri. Perut saya kejang. Dan saya menangis tersedu-sedu. Tanpa dapat saya hentikan, airmata saya terus mengalir, mulut saya mengeluarkan suara tangisan yang tidak biasa (bukan seperti tangisan yang saya pernah alami). Dan kedukaan itu terasa sangat dalam, jauh sampai ke lubuk hati saya.

Timbul perasaan menyesal karena masih banyak hal yang seharusnya bisa saya lakukan untuk mami papi. Menyesal, karena saya belum lama memperbaiki hubungan dengan mami. Saya menangis terus setiap malam, sampe anak saya Ryan, sering ikut menangis bersama saya.

Pikiran saya terasa penuh: bagaimana mami papi sekarang? Apa yang terjadi dengan mereka? Apakah mereka bisa melihat kami? Apakah mereka merasakan kesedihan dan penyesalan kami? Dan beribu macam lagi pertanyaan. (Hehe...pertanyaan-pertanyaan seperti orang 'ga pernah baca Firman Tuhan aja).

Selama seminggu saya sakit. Kepala pusing, badan nyeri semua, maag sakit, perasaan jadi sensitif, dan saya menjadi lebih manja pada suami, ngambek kalo 'ga diperhatiin.

Itu semua akibat saya sedih. Sedih karena kehilangan orang tua yang saya cintai.

Rasa sedih (baca: duka) itu adalah proses yang panjang dan bersifat individual. Tiap orang merasakan dan menjalani kesedihan dengan cara berbeda-beda. Ada yang langsung dapat menyadari kesedihan/dukanya. Ada yang menjadi linglung, alias 'ga sadar ada apa sih ini. Ada yang dengan marah-marah, entah ke dokter, entah ke saudara yang selama ini tinggal bersama orang yang meninggal, ke dirinya sendiri, atau bahkan ke orang yang meninggal. Dan, bukan tidak mungkin ada yang marah kepada Tuhan.

Ada yang mengekspresikannya dengan menangis pagi-siang-malam, kurang tidur, rambut acak2an, ga pernah pake make-up lagi, seharian mengurung diri di kamar memusuhi matahari, gak mau makan, berat badan menyusut bahkan kulit menjadi keriput, memakai baju berwarna hitam selama setahun. Macam2, tapi gak tau kenapa saya tidak bisa berekspresi seperti itu.

Ada yang menangani kesedihan dengan mengurung diri selama berhari-hari di kamar, pergi keluar kota tanpa peduli dia masih terikat sebagai karyawan, ada juga yang melampiaskannya dengan mencari hiburan di luar lingkungan keluarganya.

Intinya, kesedihan mempunyai banyak bentuk.

Saya sedih. Tapi, saya juga ingat bahwa saya mempunyai pengharapan. Pengharapan pada Tuhan.

Mungkin, kesedihan ini akan terus terasa setiap hari, atau mungkin menghilang dan timbul lagi di masa yang akan datang. Tak bisa kita hindari, tapi 'ga bijak juga kalo kita biarkan berlarut-larut.

Alangkah senangnya bila ada teman yang mau menjadi tempat berbagi dan bukannya menyangsikan rasa sayang kita kepada orang yang meninggal, hanya karena melihat kita tidak bersedih.....

Tuesday, November 18, 2008

Daftar Travel Jakarta - Bandung

1. MEGATRANS


Jakarta
Jl. Bendungan Hilir G1 No.8 Jakarta: 021-935-94600

Bandung
Terusan Jakarta No.53 Antapani: 022-912.92727


2. X-TRANS

Jakarta
Jl. Blora: 021-3150555
Pondok Indah: 021-7513806, 021-70735553
Bintaro: 021-75816429, 021-70771113
Kelapa Gading: 021-70725552, 021-92745555
Jatiwaringin: 021-70333336, 021-92705555
Tomang: 021-56942595, 021-93765555

Tangerang
BSD: 021-70771113
Lippo Karawaci: 021-93205555 (booking lewat cabang BSD).

Bandung
The Promenade, Jl. Cihampelas No. 119C Telp 022-2061077
Bandung Selatan: Telp 022-70840555


3. CitiTrans

Jakarta
Club Store belakang BEJ, Sudirman : 021-92796222, 021-68400846

Bandung
Dipati Ukur No. 53 sebelah SPBU Dipati Ukur: 022-91190300, 022-70355300


4. DayTrans

Jakarta
Jl. Karet Pasar Baru Barat No. 14D,
Karet Bivak Deretan Wisma Dharmala : 021-68556767, 021-93366767

Bandung
Hotel Nalendra Jl. Cihampelas: 022-70256767, 022-91236767

Jadwal :
05.00, 06.00, 07.00, 09.00, 10.00, 11.00, 13.00, 14.00, 16.00, 17.00, 18.00, 20.00


5. TRANSLINE

Plaza semanggi di Cafe Walk Lt.GF Jakarta
021-71029090, 98879090
021-68018080, 92859090

Jl surya Sumantri No.86.C Bandung
022-7027.8080, 70291060


6. Cipaganti Shuttle

Jakarta Pusat
Jl Cikini Raya no 8 no telp 021-3147854, 021-3904403

Jakarta Selatan
Jl Arteri Pondok Indah no 60 021-7204616 , 021-7204766

Bandung :
BTC Jl Dr Djunjunan no 143 LGF C-6 022-6126650, 022-91173131


7. Baraya Travel

Jakarta :
Gd sarinah no telp 021-9122176 , 021-93796975

Bandung :
Daerah stadion siliwangi no telp 022-4210071


8. Farametta
Jakarta :
Tanah Abang Telp 021-3156289

Bandung :
Jln Supratman Telp. 022-70836393


9. TeleTrans

Jakarta :
Main Point
Kawasan Niaga Sudirman LOT 16(sebelah Golf Driving Range)
Telp.(021)68631844

Transit point
Graha Citra Telkom Jl. Gatot Subroto No.52

Bandung :
Main Point
Jl. Palasari no.26 ( 022)7072194 - 7072195

Transit Point
Jl. Japati No.1 ( Kantor Telkom )Bandung.


10. V3 Trans

Jakarta
Wisma Benhil Blok B-4 Jl. Jend. Sudirman Jakpus (tel 021-5703466)

Bandung
Jl. Dr. Djunjunan 70 Bandung (022-2038247)


11. Mega Trans

Jakarta
Jl. Bendungan Hilir G1 No. 8 Tel 021-93594600.
Alfa Pasar Minggu Tel 0219359464

Bandung
Terusan Jl. Jakarta No. 53 Tel. 022-91292727
Jalan Banda Tel. 0224261617


12. Aya Travel

Jakarta
Depok - Margonda Raya (Sebelah BNI) Telp 021-68931121

Bandung
Jln. Dipati Ukur Telp.022-70202089

Monday, November 17, 2008

I love you, pap...

Lagi, aku dan keluarga harus berduka :(

Semua persiapan yang udah aku buat untuk menyambut papi yang akan tinggal bersamaku setelah kepergian mami, jadi kerasa basi. Basinya lagi karena aku sama sekali 'ga cerita sama papi *
i just kept it in my heart*. Padahal, who knows kalo itu bisa membuat papi senang, hatinya terhibur, semangatnya bertambah, dan bisa membuat ia menjadi sembuh *instead of meninggal :(* Ga tau deh, ada apa sih dalam diriku yang membuat aku jadi menahan diri gitu? Membuat jarak, seolah aku membuat suatu benteng besar dalam diriku. Tapi, untuk apa?!

Yang sedang terbaring sakit itu, papiku...! Ayah yang selalu mengasihi aku, memanjakanku, memperhatikanku. Yang selalu memberikan apapun yang aku minta, sehingga kerap membuat saudaraku yang lain cemburu *
sorry*. Dia bukan orang yang tegas, sehingga seperti tarik ulur atas keinginanku melakukan sesuatu, tapi basically dia selalu support. Dia adalah ayah yang juga teman aku ngobrol. *Aku ingat, dulu aku ingin sekali bisa bahasa Prancis seperti dia, sehingga kami bisa ngomongin mami atau saudaraku yang lain tanpa mereka tahu. Hihihi...betapa menyenangkannya pikiranku saat itu*.

Papi hampir tidak pernah marah padaku.

Dia tidak marah ketika dulu, aku yang masih duduk di bangku kelas 5 SD mencoba belajar motor tanpa sepengetahuannya, dan dengan sukses menabrakkan motor yang akan dijual
*karena kami akan pindah dari Makassar (d/h Ujungpandang) ke Bandung mengikuti papi yang dipindah tugaskan* ke pintu samping rumah dan terus melaju sebelum akhirnya berhenti diantara pohon2 sarikaya dan pisang yang tumbuh disamping rumah. Hari itu aku tidur lebih awal karena ketakutan, dan terbangun oleh sentuhan sayang dan sapa'an lembutnya, "ngana nda apa2 ko'oki (panggilan sayang papi untukku)? Nda luka toh?!" OMG! Papi sama sekali ngga mikirin motornya, yang menurut pikiranku yang masih kecil bakal terjual murah atau mungkin tidak laku sama sekali karena rusak. Yang dipikirkan dan dikhawatirkannya hanya aku. AKU!

Dia juga tahu aku mengalami masa-masa sulit dengan mami dan mulai memberontak.
*Ketika aku melakukan itu papi sudah dipindah tugaskan lagi ke Bangkok sehingga kami harus berpisah untuk sementara waktu. Beberapa bulan sampai aku menyelesaikan SMA-ku di Manado.* Dan, ketika dia menjemput kami di Don Muang Airport, aku yang semula tidak berani menatapnya malah menemukan kelembutan dan kasih sayang terpancar dari bola matanya. Sama sekali tidak ada kemarahan dan tidak ada kekecewaan yang keluar dari mulutnya. Hanya segudang pengertian, berusaha memahami bahwa aku, gadis kecilnya, sudah mulai besar dan sedang mencari jati diri *pdhal aku jg ga tau apa itu jati diri. Sampe skrg kayaknya belum ketemu deh :)*.

Dia tidak marah ketika aku menabrakkan mobilnya pada waktu aku belajar nyetir mobil. Dia malah mengajakku ke biro jasa pembuatan surat2 di jln Naripan, Bandung *
skrg udah ga ada*. Membuatkan aku SIM A pdhal, nyetir aja aku baru berani pake gigi satu. "Gpp, bikin aja. Supaya kamu 'ga ditangkap polisi kalo lg nyetir dijalan," begitu alasannya.

Seharusnya minggu itu
*13 hr setelah mami meninggal* aku datang ke Bandung untuk menjemput papi tinggal bersamaku. Tapi, aku harus datang sehari lebih cepat, kamis 9/10, krn mendapat kbr papi dirawat di RS Immanuel, Bandung karena fesesnya berwarna hitam, which is indikasi pendarahan dalam. Rupanya, kesedihan papi karena ditinggal mami membuat papi kehilangan selera makan. Semua makanan jadi terasa hambar. "Lebih enak masakan mami," begitu selalu ucap papi setiap kali selesai memasukkan satu sendok makan ke dalam mulutnya, sebelum kemudian menolak untuk menghabiskan makanannya. Akibatnya perut (baca: maag) papi sakit, ditambah lagi obat jantung yang tidak boleh berhenti dikonsumsi papi agak keras dan seharusnya diminum sesudah makan. Begitu juga obat diabetesnya.

Sama seperti mami, papi juga meninggal tanpa ngerepotin anak-anaknya (khususnya dalam soal biaya. SEDIKITPUN! Mulai dari biaya Rumah Sakit sampai Pemakaman). Mereka selalu bilang tidak mau membebani anak-anak dan janji itu telah mereka penuhi. Hanya 3 hari papi dirawat di RS sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Minggu, 12 Oktober 2008
Jam 12.40 pm
Ruang VIP, LCB # 9, RS Immanuel, Bandung

Hari, waktu dan tempat yang 'ga akan pernah aku lupa. Yang hanya sekedar lewat daerah situ aja mampu membuat aku menitikkan airmata dan selalu menarik nafas panjang, berharap rasa nyeri dalam hatiku menguap.....entah kapan.

I love you, pap....I love you so much.

I know, God already prepared a bright and blessed place for you and mom in His heaven kingdom, for you have kept your faith till the end. And with Him shall we all ever stay. Till we meet again!


ps: oh, how i miss our wonderful times together.....

I love you mom....and I'm sorry

I love you mom...
I thank you for took a very good care of me since i was little,
I thank you for always be there for me in a bad times or a good times,
I thank you for everything!
I miss you!
I'm sorry that I hurts you a lot!

If only she's still alive. I would say that out loud to her!


'Ga cuman omong doang, tapi aku juga akan memeluknya. Aku akan memperperhatikan dia dengan lebih baik lagi. 'Ga cuma sekedar telpon setiap minggu menanyakan kabarnya, tapi aku mau menjadi pendengar setia untuk setiap cerita-ceritanya, untuk keluh kesahnya, untuk kekawatiran-kekawatirannya, untuk harapan-harapannya. Apapun itu, aku mau memberikan telinga dan hatiku untuk mendengar.

'Ga menyela, mengkritik, menyalahkan, hanya mendengar.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku belum sempat mengucapkan itu semua ketika pagi tgl 26 Sept' 2008, aku mendapat kabar bahwa mami 'ga sadarkan diri dan kemudian sudah tidak tertolong lagi. Aku bahkan sudah 12 hari belum ngobrol lagi sama mami. 2 hari sebelum mami meninggal aku telpon, tapi mami 'ga ada. "Mami lagi kebaktian kaum Ibu," begitu kata papi yang menerima telponku malam itu.

Aku merasa menjadi anak yang jahat, yang tidak tau balas budi, yang begitu acuh kepada ibuku sendiri.

Mami orang yang baik (setiap temanku pasti akan berkata begitu dan kebingungan bila mendengar curhatku soal ketidak-akrabanku dengan mami), perhatian, sabar, selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik, membekali aku dan saudara-saudaraku dengan pendidikan agama yang 'ga cuman dia sampaikan lewat teori doang, tapi juga lewat tindakan-tindakan dia.

Emang sih, mami cerewet...:). Tapi, bukankah hampir setiap ibu seperti itu? Dia juga agak konservatif - lama untuk beradaptasi dengan perubahan-. Dan...over protektif, terutama kepadaku yang anak perempuan satu-satunya.

Mungkin karena sifat dia yang over protektif itulah hubunganku dengan mami 'ga begitu baik lagi. Terutama setelah aku udah di kelas 2 bangku Sekolah Menengah Atas dan hampir merayakan "my sweet seventeen birthday".

Setelah aku berhasil dikomporin teman-teman untuk berpacaran, "masa SMA masa yang paling indah lho...gila aja lo kalo sampe lulus dari sini tanpa sempet ngerasa'in indahnya pacaran...", aku jadi lebih sering lagi ribut sama mami. Mendadak aku jadi punya stock alasan-alasan yang semuanya bohong, hanya supaya aku bisa bepergian dengan my backstreet boyfriend sampai malam (itupun juga sebenarnya ga lewat dari jam 10 pm sih...hehe, masih ngebela diri aja :p). Dan, aku tidak pernah lagi curhat sama mami soal apapun juga. Karena aku merasa kami berbeda dan mami tidak mau mengerti aku.

Mungkin bukan perbedaan itu sendiri yang jadi masalah, tapi lebih ke diriku yang selalu merasa benar, dan maunya semua keinginanku dituruti, atau apapun juga harus berjalan sesuai dengan kemauanku. Alhasil, setiap kali kami mencoba berbincang-bincang, semuanya tidak pernah berakhir manis. Dan, aku semakin menutup diri.

Hubungan ibu-anak dan komunikasi yang kusut ini terus berlanjut sampai aku kuliah, bekerja dan menikah. Barulah, setelah aku melahirkan anakku yang pertama, aku mulai sedikit lebih lunak. Mulai ngga terlalu ngotot mempertahankan pendapatku atau memaksakan mami untuk mengerti dan mengadopsi teori-teoriku yang dangkal, yang aku dapat dari pergaulan yang hanya bersifat senang-senang aja.

Kelihatannya mami cukup senang dengan komunikasi kami yang sudah lebih baik ini. Karena, ketika mami meninggal, tante dan saudara sepupuku cerita bahwa mami sangat terkesan denganku. Dan bahwa katanya aku penuh perhatian pada mami. Tsk!

Aku menyesal tidak berbuat yang terbaik untuknya. Aku menyesal karena rasa seganku aku tidak pernah mengucapkan kata sayang padanya. Aku menyesal karena egoku aku hanya sekali mengucapkan terimakasih kepadanya pada saat acara sungkeman ketika aku menikah dulu. Aku menyesal aku tidak berusaha mengerti dia. Aku menyesal aku tidak cukup mencoba untuk menjadi pendengar setia. Aku menyesal memperlihatkan bahwa aku lebih sayang papi daripada mami. Aku menyesal selalu menyalahkannya untuk apa yang terjadi dalam hidupku. Aku menyesal selalu membandingkannya dengan ibu-ibu yang lain yang lebih modern dan 'gaul', yang mengijinkan anaknya untuk berganti-ganti pasangan, yang tidak keberatan anaknya pulang malam, mengenakan pakaian sexy. Aku menyesal....., aku menyesal.....Ah!

I love you mom...
I thank you for took a very good care of me since i was little,
I thank you for always be there for me in a bad times or a good times,
I thank you for everything!
I miss you!
I'm sorry that I hurts you a lot!

If only she's still alive. I would say that out loud to her!
But from now on, I can only whisper that into my pray.

bunga pepaya - pahit tapi nagih

Ada satu menu masakan manado yang saya suka banget: sayur bunga pepaya.

Rasanya yang agak-agak pahit (kebanyakan sih udah ga berasa pahit lagi. Well, tx to the chef, karena basically saya juga ga terlalu suka rasa pahit :)), pedas dan tambahan ingredients lain yang bikin sayur yang bahan utamanya cuman bunga pepaya ini jadi terasa begitu enak, dan bikin nagih.

*Jadi kepengen, yummie....*

Keringat yang keluar akibat dari kombinasi rasa pedas cabe rawit, nasi hangat serta tangan yang sampe pegel kipas-kipas bantuin air condition yang dinginnya ga mampu menahan keluarnya keringat, ga bikin saya brenti makan.

Renyahnya bunga pepaya yang beradu diantara gigi dan kemudian meleleh masuk ke gergantang (baca: tenggorokan) membuat saya jadi nambah lagi.....nambah lagi dan nambah lagi -enak banget siih...:)

* Edodo pe sadap skali....sampe malele tu gidi-gidi *

Sampe lupa ledekan temen-temen lama kalo saya skarang ini udah lebih gendut, hehe...:D

Juga 'ga peduli kata orang, kita perempuan harus jaga perut jangan sampe terlalu buncit, karena lewat umur 40 nanti kita udah ga bisa membentuk perut ideal lagi.

Well, gimana nanti aja itu mah...hehe. Yang penting, nafsu makannya terpenuhi sampe klimaks...hihihihi.

Christian graphics